Senin, 14 November 2011

Asuhan Keperawatan Apendiksitis


A.    Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh (Sudoya, Aru W, dkk. 2009).
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu (Smeltzer, Suzanne C).


1.      Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau (Smeltzer, Suzanne C).
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis (Sudoya, Aru W, dkk).
2.      Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang (Suratun & Lusianah. 2010).
Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium (Suratun & Lusianah. 2010).
Tekak terdiri dari; Bagian superior (bagian yang sangat tinggi dengan hidung), bagian media (bagian yang sama tinggi dengan mulut) dan bagian inferior (bagian yang sama tinggi dengan laring). Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring (Sudoya, Aru W, dkk).
3.      Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esophagus. Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang (Henderson, M.A. 1992).
Menurut histology, esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
-         bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
-         bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
-         bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
4.      Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu
-         Kardia
-         Fundus
-         Antrum
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan (Henderson, M.A. 1992).
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
-         Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung (Smeltzer, Suzanne C).
-         Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri (Smeltzer, Suzanne C).
-         Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5.      Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus : lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M Longitidinal) dan lapisan serosa (Sebelah Luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
-         Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
-         Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti “kosong”.
-         Usus Penyerapan (illeum)
-         Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
(Suratun & Lusianah, 2010).
6.      Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
-         Kolon asendens (kanan)
-         Kolon transversum
-         Kolon desendens (kiri)
-         Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare (Sudoya, Aru W, 2009).
7.      Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing (Ahmadsyah dan Kartono. 1995).
8.      Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen) (Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum (Syamsuhidajat. 1997).
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum (Ahmadsyah dan Kartono. 1995).
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendektomi (Schwartz, Seymour. 2000).
9.      Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi (Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB (Ahmadsyah dan Kartono. 1995).
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus (Syamsuhidajat. 1997).
10.  Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari). Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
-         Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
-         Pulau pankreas, menghasilkan hormon
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung (Schwartz, Seymour. 2000).
11.  Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar. Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum (Schwartz, Seymour. 2000).


12.  Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
-         Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
-         Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.
(Schwartz, Seymour. 2000)

B.     Definisi
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir (Anonim, Apendisitis, 2007).

C.    Etiologi
Apendiksitis disebabkan oleh obstruksi pada lumen apendiks, infeksi bakteri dan striktura pada dinding usus.
1.      Obstruksi atau penyumbatan pada lumen apendiks yang disebabkan oleh fekalit (massa feses yang keras, terutama disebabkan oleh kekurangan makanan berserat). Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan flora normal kolon, hiperplasia jaringan limfoid, bernda asing tumor, cacing atau parasit lain.
2.      Infeksi bakteri (seperti proteus, klebsiella, streptococcus dan pseudomonas dan bakteri anaerobik terutama bacteroides fragilis), parasit.
3.      Struktura karena fibrosis pada dinding usus.
(Suratun & Lusianah, 2010)

D.    Patofisiologi
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan sebabkan nyeri sikitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh mulai naik.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

(Suratun & Lusianah. 2010).
A.    Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang muncul pada pasien apendiksitis adalah :
1.      Mual dan muntah dengan anoreksia akibat nyeri visceral.
2.      Obstipasi karena klien takut mengejan, klien apendiksitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa klien mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks perviakal yang merangsang daerah abdomen.
3.      Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi. Gejala lain timbul demam yang tidak terlalu tinggi dengan suhu antara 37,5o-38,5oC, tetapi bila suhu lebih tinggi diduga telah terjadi perforasi.
4.      Pada inspeksi, klien berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang saki, timbul kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada abses apendiks. Posisi klien biasanya miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
5.      Pada palpasi :
a.       Nyeri tekan positif pada titik Mc.Burney. pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney (setengah jarakumbilikus dengan tulang ileum kanan) dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
b.      Nyeri lepas positif pada rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas) adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah (titik Mc.Burney)saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan.
c.       Defens muscular positif pada rangsangan muskulus rektus abdominis. Defens muskular adalah nyeri tekan seluruh lapang abdomen yang mnunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
d.      Rovsing sign positif pada penekanan perut sebelah kiri, maka nyeri dirasakan pada sebelah kanan. Hal ini terjadi karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum sekitar apendiks yang meradang (somatik pain) dan nyeri tersebut dijalarkan.
6.      Pada perkusi didapatkan nyeri ketuk positif.
7.      Pada auskultasi, dapat ditemui peristaltik normal, peristaltik normal, peristaltik tidak ada bila telah terjadi ileus paralitik karena peritonitis akibat perforasi apendiksitis.
8.      Rectal toucher/ colok dubur. Nyeri tekan pada arah jarum jam 9-12.
(Suratun & Lusianah. 2010)

B.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Tes rectal.
Hasil teraba benjolan dan perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses.
2.      Pemeriksaan laboratorium :
a.       Klien mengalami leukositosis (lebih dari 12.000 mm3), leukosit mengkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada klien dengan apendiksitis akut, nilai netrofil akan meningkat 75%, perlu dipertimbangkan adanya penyakit infeksi pada pelvis terutama wanita. Jika jumlah leukosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
b.      C-rective protein (CRP). Pertnda respon inflamasi akut (akute phase response) dengan nilai sensitifitas dan spesifilitas CRP cukup tinggi, yaitu 80 – 90% dan lebih dari 90%.
c.       Hb (hemoglobin) nampak normal.
d.      Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendiksitis infiltrat.
e.       Urinalisis : normal, tetapi eritrosit, leukosit mungkin ada. Urine rutin penting untuk melihat adanya infeksi pada ginjal.

3.      Foto abdomen
Dapat menunjukkan adanya pengerasan meterial pada apendiks (fekalit), ileus terlokalisir. Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

(Suratun & Lusianah. 2010)

C.    Komplikasi
Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :
1.      Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).
2.      Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).


3.      Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal.

(Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

D.    Penatalaksanaan
1.      Pembedahan
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.
Teknik pembedahan :
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus. Sayatan Fowler Weier lebih dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan sayatan dapat diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah dapat langsung terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan nanah diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peitonium mutlak dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai benar-benar bersih.
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan nanah biasa ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara usus-usus. Luka sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium dan lapisan fasia yang menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan terlalu kuat dan rapat.
Pemasangan dren intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga peritonium benar-benar bersih dren tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren daripada dicuci kurang bersih dipasang dren (Suratun & Lusianah. 2010).

2.      Terapi
a.       Apendisitis perforasi
Persiapan prabedah :
Pemasangan sonde lambung dan tindakan dekompresi. Rehidrasi. penurunan suhu tubuh. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis cukup, diberikan secara intravena.
b.      Apendisitis dengan penyulit peritonitis umum
Umumnya klien dalam kondisi buruk. Tampak septis dan dalam kondisi hipovolemik serta hipertensi. Hipovolemik akibat puasa lama, muntah dan pemusatan cairan di daerah proses radang, seperti udem organ intraperitoneal, dinding abdomen dan pengumpulan cairan dalam rongga usus dan rongga peritoneal.
Persiapan prabedah :
1)      Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi.
2)      Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
3)      Rehidrasi.
4)      Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
5)      Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
(Henderson, M.A. 1992)

E.     Asuhan Keperawatan Teoritis
1.      Pengkajian
a.       Identitas klien
b.      Riwayat Keperawatan
1)      Riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
2)      Riwayat kesehatan masa lalu
c.    Pemeriksaan fisik
1)      Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
2)      Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
3)      Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.
4)      Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
5)      Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.
d.      Pemeriksaan penunjang
1)      Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
2)      Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.
(Doenges, Marylinn E. 2000)

2.      Diagnosa Keperawatan Teoritis
1.      Pre operasi
a.       Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah.
b.      Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.
c.       Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai prosedur yang akan dilakukan.
d.      Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi.
e.       Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

2.      Post operasi
a.       Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang berhubungan dengan anorexia, mual.
b.      Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
c.       Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi.

(Doenges, Marylinn E. 2000)


3.      NCP (Nursing Care Planning) Pre Operasi
N
O
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
TUJUAN/
KRITERIA HASIL
PERENCANAAN
INTERVENSI
RASIONAL
1.       
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah
Tujuan :
Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat.
KH :
a.     Mual (-)
b.     Muntah (-)
c.     Nafsu makan meningkat
d.    Makan habis 1 porsi
e.     Berat badan meningkat
Mandiri :
1.   Kaji pola makan dan status nutrisi klien.
2.   Berikan makan yang tidak merangsang (pedas, asam dan mengandung gas).
3.   Berikan makanan lunak.
4.   Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
5.   Tambang berat badan klien setiap hari dengan alat ukur yang sama.
6.   Lakukan perawatan mulut secara teratur dan sering.
7.   Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat.
8.   Berikan terapi antimietik sesuai indikasi.

1.   Sebagai dasar untuk menentukan intervensi.
2.   Mencegah meluasnya iritasi dan peradangan.

3.   Mencegah terjadinya iritasi.
4.   Mencegah rangsangan mual dan muntah.
5.   Untuk mengetahui masukan makanan/ penambah berat badan.
6.   Meningkatkan nafsu makan.

7.   Agar klien kooperatif dalam pemenuhan nutrisi.
8.   Untuk mengontrol mual dan muntah sehingga dapat menigkatkan masukan.
2.       
Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus.
Tujuan :
Nyeri teratasi/ hilang.
KH :
a.     Klien melaporkan rasa sakit/ nyerinya terkontrol.
b.     Wajah tampak rileks.
c.     Klien dapat tidur/ istirahat dengan cukup.
Mandiri :
1.   Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala), selidiki dengan laporan perubahan nyeri dengan tepat.
2.   Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler.



3.   Anjurkan klien dalam napas dalam (hirup udara dari hidung dan keluarkan melalui mulut).
4.   Berikan aktivitas hiburan.

5.   Lakukan gate control.


6.   Pertahankan puasa/ penghisapan NGT pada awal, sesuai program medik.

Kolaborasi :
7.   Berikan analgetik sesuai indikasi.
8.   Berikan kantong es pada abdomen.

1.   Untuk menilai ketidakefektifan obat, kemajuan penyembuhan.

2.   Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah, menghilangkan tekanan abdomen, sehingga menurunkan nyeri.
3.   Napas dalam otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi nyeri.

4.   Meningkatkan relaksasi dan dapat menurunkan nyeri.
5.   Dengan gate control rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hipotalamus.
6.   Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dan iritasi gaster atau muntah.


7.   Menghilangkan nyeri.

8.   Menghilangkan dan mengurangi nyeri.
3.       
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai prosedur yang akan dilakukan.
Tujuan :
Ansietas berkurang/ hilang.
KH :
a.     Klien tampak rileks dan tenang.
b.     TTV dalam batas normal.
Mandiri :
1.   Kaji tingkat ansietas, catat respons verbaldan non verbal pasien.
2.   Berikan informasi tentang proses penyakit dan prosedur yang akan dilakukan.
3.   Berikan lingkungan perawatan yang nyaman.

4.   Jelaskan pada pasien tentang hal-hal yang mungkin saja terjadi pada saat prosedur pembedahan dilakukan.
5.   Beri dukungan kepada pasien.

1.   Ketakutan yang terjadi penting diketahui untuk melanjutkan interveni.
2.   Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.
3.   Lingkungan yang nyaman memberikan efek yang bagus untuk psikologis pasien.
4.   Untuk mengurangi kecemasan pasien yang berlebihan.


5.   Meningkatkan rasa percaya diri pasien dan membantu proses penyembuhan penyakit.
4.       
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan :
Hipertermi teratasi.
KH :
a.     Suhu dalam batas normal (36-37,5Oc).
b.     Tidak ada tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit elastis, pengisian kapiler < 3 detik, membran mukosa lembab).
Mandiri :
1.   Kaji dan catat suhu tubuh setiap 2 jam – 4 jam.
2.   Observasi membran mukosa, pengisian kapiler, turgor kulit.
3.   Berikan munim 2 – 2,5 liter/ hari.

4.   Berikan kompres hangat pada dahi, ketiak an lipat paha.


5.   Anjurkan klien untuk tirah baring/ pembatasan aktivitas selama fase akut.
6.   Anjurkan klien menggunakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat.

Kolaborasi :
7.   Berikan terapi antipiretik sesuai indikasi.
8.   Berikan antibiotik sesuai indikasi.
9.   Pemberian cairan parenteral sesuiai indikasi.

1.   Sebagai dasar untuk menentukan intervensi.
2.   Untuk indikasi tanda-tanda dehidrasi akibat panas.
3.   Kebutuhan cairan dalam tubuh cukup mencegah terjadinya panas.
4.   Kompres hangat memberikan efek vasodilatasi pembuluh darah, sehingga mmpercepat penguapan panas tubuh.
5.   Menurunkan kebutuhan tubuh, sehingga menurunkan panas.

6.   Pakaian tipis memudahkan penguapan panas, saat penurunan panas klien akan banyak mengeluarkan keringat.
7.   Untuk menurunkan/ mengontrol panas.
8.   Untuk mengatasi infeksi dan mencegah penyebaran infeksi.
9.   Penggantiancairan akibat penguapan panas tubuh.

5.       
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan :
Pemasukan cairan adekuat.
KH :
a.     Cairan dan elektrolit dalam keadaan seimbang.
b.     Turgor kulit baik
c.     TTV normal
d.    Membran mukosa lembab
e.     Pengeluaran urine adekuat dan normal
Mandiri :
1.   Monitor tanda-tanda vital.



2.   Observasi membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

3.   Awasi masukan dan keluaran, catat warna urine, konsentrasi, berat jenis urine.
4.   Berikan cairan sedikit demi sedikit.
5.   Jelaskan agar menghindari makanan/ bau-bauan yang menrangsang mual.
6.   Berikan perawatan mulut dan bibir dengan sering.
Kolaborasi :
7.   Berikan cairan intravena dan elektrolit.
8.   Pertahankan penghisapan gaster atau usus.
9.   Lakukan pemeriksaan cairan dan elektrolit.

1.   Mengidentifikasikan fluktuasi volume intravaskular, indikator secara dini tentang adanya hipovolemi.
2.   Perubahan dari normal tanda tersebut indikasi tidak adekuatnya sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3.   Peurunan keluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenisurine diduga dehidrasi.
4.   Untuk meminimalkan kehilangan cairan.
5.   Menghindari adanya pengeluaran cairan peroral atau muntah.
6.   Meminimalkan terjadinya luka pada mukosa mulut.

7.   Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit.
8.   Untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah muntah.
9.   Mengetahui kondisi jumlah cairan dan elektrolit.








4.      NCP (Nursing Care Planning) Post Operasi
N
O
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
TUJUAN/
KRITERIA HASIL
PERENCANAAN
INTERVENSI
RASIONAL
1.       
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berkurang berhubungan dengan anorexia, mual.

Tujuan :
Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat.
KH :
a.     Mual (-)
b.     Muntah (-)
c.     Nafsu makan meningkat
d.    Makan habis 1 porsi
e.     Berat badan meningkat
Mandiri :
1.   Kaji pola makan dan status nutrisi klien.
2.   Berikan makan yang tidak merangsang (pedas, asam dan mengandung gas).
3.   Berikan makanan lunak.
4.   Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
5.   Tambang berat badan klien setiap hari dengan alat ukur yang sama.
6.   Lakukan perawatan mulut secara teratur dan sering.
7.   Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat.
8.   Berikan terapi antimietik sesuai indikasi.

1.   Sebagai dasar untuk menentukan intervensi.
2.   Mencegah meluasnya iritasi dan peradangan.

3.   Mencegah terjadinya iritasi.
4.   Mencegah rangsangan mual dan muntah.
5.   Untuk mengetahui masukan makanan/ penambah berat badan.
6.   Meningkatkan nafsu makan.

7.   Agar klien kooperatif dalam pemenuhan nutrisi.
8.   Untuk mengontrol mual dan muntah sehingga dapat menigkatkan masukan.
2.       
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.

Tujuan :
Nyeri teratasi/ hilang.
KH :
a.    Klien melaporkan rasa sakit/ nyerinya terkontrol.
b.     Wajah tampak rileks.
c.     Klien dapat tidur/ istirahat dengan cukup.
Mandiri :
1.   Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala), selidiki dengan laporan perubahan nyeri dengan tepat.
2.   Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler.



3.   Anjurkan klien dalam napas dalam (hirup udara dari hidung dan keluarkan melalui mulut).

4.   Berikan aktivitas hiburan.

5.   Lakukan gate control.


6.   Pertahankan puasa/ penghisapan NGT pada awal, sesuai program medik.

Kolaborasi :
7.   Berikan analgetik sesuai indikasi.
8.   Berikan kantong es pada abdomen.

1.   Untuk menilai ketidakefektifan obat, kemajuan penyembuhan.

2.   Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah, menghilangkan tekanan abdomen, sehingga menurunkan nyeri.
3.   Napas dalam otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi nyeri.

4.   Meningkatkan relaksasi dan dapat menurunkan nyeri.
5.   Dengan gate control rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hipotalamus.
6.   Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dan iritasi gaster atau muntah.


7.   Menghilangkan nyeri.

8.   Menghilangkan dan mengurangi nyeri.
3.       
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. Kurang pengetahuan tentang perawatan dan penyakit berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan :
Tidak terjadi penyebaran infeksi.
KH :
a.     TTV dalam batas normal
b.     Leukosit normal
Mandiri :
1.   Kaji tanda-tanda vital dengan sering, catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi, penurunan tekanan nadi.

2.   Catat perubahan status mental.


3.   Catat warna kulit, suhu, kelembaban.

4.   Awasi haluaran urine.



5.   Pertahankan tekhnik aseptik dan antiseptik.

1.   Tanda adanya syok septik, endotoksin sirkulasi menyebabkan vasodilatasi, kehilangan cairan dari sirkulasi dan rendahnya status jantung.
2.   Hipoksemia, hipotensi dan asidosis dapat menyebabkan penyimpangan status mental.
3.   Hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda sini septikemia.
4.   Oliguria terjadi akibat penurunan perfusi ginjal, toksin dalam sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
5.   Mencegah meluasnya dan membatasi penyebaran organisme infektif/ komtaminasi silang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar